Kamis, 13 November 2008

Persepsi Masyarakat Kota Bandung Terhadap Kapolsek Yang Service Oriented

ABSTRAK

Strategi operasional Polri diarahkan untuk menjadikan Polres sebagai kesatuan operasional dasar dan Polsek sebagai lini terdepan dalam pelayanan langsung kepada masyarakat. Dalam proses pelayanan Polsek kepada masyarakat sangat dipengaruhi oleh peran seorang Kapolsek yang memimpin anggotanya. Masyarakat sebagai konsumen penerima pelayanan dari Polri akan selalu menilai semua tindakan Polri. Disini masyarakat akan menilai peranan kapolsek dalam membawa anggotanya untuk memberikan pelayanan yang terbaik. Dari sekian banyak kepemimpinan kapolsek, masyarakat bisa menilai serta mempunyai kriteria kapolsek yang dianggap bisa memberikan pelayanan masyarakat dengan baik.
Berdasar hal di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti bagaimana persepsi masyarakat tentang sosok kapolsek yang service oriented. Penulis menetapakan judul penelitian ini adalah “Persepsi Masyarakat Kota Bandung Terhadap Kapolsek Yang Service Oriented”. Kota Bandung dipilih sebagai tempat penelitian berdasarkan pertimbangan bahwa wilayah kota Bandung dihuni oleh penduduk yang cukup heterogen latar belakang etnis, pendidikan, sosial ekonomi dan yang lainnya, sehingga dianggap mewakili persepsi yang ada di masyarakat secara luas.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana persepsi masyarakat kota Bandung terhadap kapolsek yang service oriented, dilihat dari aspek primordialnya (agama, jenis kelamin, latar pendidikan Polri, usia, etnis). Dibatasi pada aspek primordial tersebut karena aspek ini yang mudah terlihat dan diketahui oleh masyarakat, sehingga mudah untuk didapatkan keterangan dari masyarakat yang menilai.
Pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini yaitu pendekatan kuantitatif dengan metode survey. Untuk mencari data penulis menyebarkan kuesioner kepada responden. Responden dipilih dari sebagian populasi warga kota Bandung sebanyak 200 responden dengan menggunakan tekhnik accidental sampling.
Data yang didapat berupa data nominal. Data yang didapat menggambarkan frekuensi persepsi masyarakat pada Kapolsek yang service oriented. Persepsi masyarakat tersebut ditabelsilangkan dengan kategori responden sebagai variabel kontrol.
Hasil perolehan data menggambarkan masyarakat kota Bandung berpersepsi bahwa kapolsek yang service oriented tidak ditentukan oleh agama, jenis kelamin dan etnisnya. Kapolsek yang service oriented berusia 31-40 tahun serta berasal dari lulusan Akpol.

Kamis, 16 Oktober 2008

PENERAPAN COMMUNITY POLICING YANG SEMAKIN BERPENDEKATAN SOSIOLOGIS

Program “community policing” akhir-akhir ini gencar diterapkan Kepolisian Republik Indonesia untuk semakin meningkatkan pelayanan kepada masyarakat demi terciptanya keamanan dan ketertiban masyarakat. Persiapan segala hal tentang Polmas telah dilakukan dengan mempelajari konsep community policing dan penerapannya dari negara-negara lain serta diformulasikan dengan budaya kita sendiri. Maka lahirlah Polmas versi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang tertuang dalam Skep Kapolri no Pol : Skep / 737 /X / 2005 tentang kebijakan dan Strategi penerapan Model Perpolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri besreta turunannya.
Dari dulu sampai sekarang kita telah mengenal ‘siskamling” yang merupakan nilai-nilai sosial kultural masyarakat indonesia, yang lebih menjunjung nilai-nilai sosial daripada individu. Pada hakekatnya konsepsi community policing telah melembaga dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Banyak pakar yang mengatakan bahwa “sistem keamanan lingkungan” lebih efektif dibandingkan dengan program yang disebut neighborhood watch di negara-negara maju. Selain itu terdapat tata cara penyelesaian perkara secara kekeluargaan (non yustisiil) melembaga dalam kehidupan terutama masyarakat pedesaan (rural).
Atas dasar itulah kita tidak boleh latah, dengan serta merta mengadopsi konsep community policing dari negara-negara lain. Sikap yang bijak dan cerdas adalah dengan mengembangkan pranata yang telah kita miliki, disesuaikan dengan perkembangan jaman dan keteguhan penegakannya oleh “polisi masyarakat”.
Masyarakat manapun tidak ada yang memberi sikap positip terhadap gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat. Maka setiap ada gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat, termasuk pelanggaran dan kejahatan, akan selalu direaksi negative oleh masyarakat. Reaksi ini disebut reaksi social. Reaksi ini diberikan secara informal dan bersifat spontan serta dilakukan oleh potensi-potensi yang tersimpan dalam masyarakat itu sendiri. Hal ini disebut sebagai ”The Hidden And Latent Law Enforcement System” atau mekanisme penegakan hukum yang mengendap dan tersembunyi dalam masyarakat itu sendiri. Ketertiban dan keamanan masyarakat menjadi tanggung jawab bersama antara tokoh masyarakat dan masyarakatnya.
Dari segi sosiologis, fungsi kepolisian terdiri atas semua pekerjaan yang ada di dalam kehidupan masyarakat, yang bertujuan mewujudkan keamanan dan ketertiban di lingkungan masyarakat. Dari waktu ke waktu kegiatan-kegiatan ini dilaksanakan terus menerus sehingga sampai melembaga dalam tata kehidupan masyarakat. Fungsi Kepolisian dalam masyarakat tersebut diantaranya : kepala adat, berbagai bentuk satuan pengamanan lingkungan baik lingkungan pemukiman (siskamling), lingkungan kerja (satpam) dan sebagainya.
Melihat fakta yang terjadi di masyarakat tersebut, kepolisian harus lebih bisa memberdayakan masyarakat untuk bisa menjadi “POLISI” bagi mereka. Untuk itu perlu pendekatan dengan cara berusaha mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Upaya peningkatan rasa saling percaya antara polisi dengan masyarakat sangat penting agar tercipta kemitraan diantara keduanya. Banyak cara ditempuh, diantaranya anggota kepolisian harus memahami budaya masyarakat di mana mereka bertugas.
Penempatan petugas Polmas pada suatu lingkungan dengan interaksi yang lebih menerapkan kesejajaran dan kemitraan, akan menghasilkan saling pengertian dan kepercayaan diantara polisi dan masyarakat. Dengan penerapan cara berinteraksi Petugas Polmas dengan warga yang baik, para Petugas Polmas akan mampu berintegrasi dan menjadi bagian dari warga.
Apabila masyarakat telah mengenal dan mendukung Petugas Polmas, maka warga akan melihatnya sebagai penegak nilai dan norma masyarakat setempat. Tindakan Polisi tidak saja berdasar hukum tetapi juga berdasar nilai dan norma masyarakat, sehingga semakin memberikan rasa keadilan dan kepuasan kepada masyarakat. Petugas Polmas tetap melakukan tugas-tugas Kepolisian umum termasuk melakukan upaya paksa, namun lebih diharapkan untuk bisa bersama warga masyarakat menemukan akar masalah dan menemukan serta mengembangkan upaya pemecahan masalah.
Setelah mendalami konsep polmas dari berbagai pakar dan Surat Keputusan Kapolri nomor : SKEP/737/X/2005 beserta turunannya, saya selaku Kepala kepolisian di suatu daerah, akan menerapkan polmas yang lebih mendekatkan pada aspek sosiologis di wilayah Polres saya. Hal ini bertujuan agar konsep Polmas menjadi lebih bisa diterima dan dilaksanakan bersama antara masyarakat dan anggota kepolisian. Sistem yang akan saya bangun adalah sebagai berikut :

1. Strategi Pengembangan Polmas
a. Mengembangkan pembinaan sumderdaya manusia khusus bagi petugas Polmas.
b. Mengadakan kerjasama dengan Pemerintah Daerah, DPRD dan instansi terkait lainnya untuk mengenbangkan Polmas.
c. Membangun dan membina kemitraan dengan tokoh-tokoh sosial masyarakat, serta unsur masyarakat lainnya dalam rangka memberikan dukungan bagi kelancaran dan keberhasilan program-program Polmas.
d. Membentuk wadah kegiatan polmas sebagai wadah kerjasama antara polisi dengan masyarakat yang mengoperasionalisasikan polmas dalam lingkungannya.
2. Program Penerapan dan Pengembangan Polmas
a. Melakukan perekrutan, pendidikan latihan dan pembinaan jenjang karier petugas Polmas
b. Menyediakan sarana dan prasarana yang berkaitan dengan tugas Polmas.
c. Mengalokasikan anggaran yang memadai dalam pelaksanaan tugas Polmas.
d. Membuat gambaran karakteristik masyarakat. Gambaran ini berisi informasi mengenai kependudukan, tingkat pengangguran, jumlah kejahatan dan gangguan kamtibmas, dan lain – lain. Produk diatas dibuat secara berkala dan melibatkan masyarakat dalam penyusunannya.
e. Membuat pemetaan masalah dan kerawanan yang terjadi dalam masyarakat.
h. Pemberdayaan wadah kegiatan polmas, dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya.
i. Membuat MoU dengan pemerintah Daerah dan Instansi terkait untuk mengembangkan Polmas dalam berbagi bentuk kegiatan.
j. Menggalakkan dan mengarahkan wadah kegiatan polmas untuk semakin kreatif mendekati masyarakat, seperti bakti sosial untuk menarik simpati masyarakat.
k. Membuat pengendalian kegiatan wadah kegiatan polmas dengan menetapkan kewenangan, kewajiban, larangan dan standar kinerja.
f. Penempatan anggota Polmas yang mengerti adat istiadat sesuai wilayah asing-masing .
Setelah menetapkan strategi, program dan pedoman langkah kegiatan penerapan Polmas diatas, maka saya juga menetapkan indikator keberhasilan, sebagai standar kinerja dengan mempedomani Skep Kapolri no Pol : Skep / 737 /X / 2005. Beberapa indikator keberhasilan yang saya tetapkan, adalah:
1. Kualitas dan kuantitas kegiatan wadah polmas baik kegiatan pengurus maupun keikut-sertaan warganya.
2. Kemampuan wadah polmas menemukan dan mengidentifikasikan akar masalah yang terjadi.
3. Menurunnya gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat.
4. Kemampuan petugas Polmas dalam penyelesaian masalah sehingga tidak terjadi masalah lanjutan dan ketidakpuasan.
5. Kemampuan menanggapi keluhan masyarakat, sehingga masyarakat merasa puas, dan merasa ada tempat berbagi dan mengeluh.
6. Intensitas kunjungan petugas Polmas kepada warganya, sehingga menimbulkan rasa aman di dalam masyarakat.
Demikanlah gagasan pemikiran saya dalam mengembangkan community policing yang lebih menggali aspek sosiologis di wilayah Polres yang saya pimpin. Dengan lebih mendekati aspek kemasyarakatan, diharapakan program polmas makin didukung masyarakat, sehingga tujuan keamanan dan ketertiban masyarakat dapat tercapai.






DAFTAR PUSTAKA
Soekanto,Soeryono. Sosiologi, Suatu Pengantar. Cetakan VI. Jakarta: Yayasan Penerbit UI 1978.
Kamanto. Pengantar Sosiologi. Edisi Revisi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2004.
Friedmann Robert, 1992, Community Policing, (diterjemahkan dan disadur oleh Kunarto), Jakarta, Cipta Manunggal.
Jurnal Integrating Sociological Research And Theory With Community Oriented Policing: Bridging Gap Between Academics And Practise.Allison T Chappell and Lonn Lanza
Skep Kapolri no Pol : Skep / 737 /X / 2005 tentang kebijakan dan Strategi penerapan Model Perpolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri
Skep Kapolri no Pol : Skep / 433 /VIII / 2006 tentang Panduan pembentukan dan operasionalisasi Perpolisian Masyarakat (Polmas)
Hand out Dr Iwan Gardono untuk mata kuliah Sosiologi PTIK angkatan 51 tahun 2008.
Dan berbagai artikel, catatan, hand out mata kuliah Polmas PTIK angkatan 51 tahun 2008

Kamis, 04 September 2008

PAHAM NEO KLASIK DAN KAITANNYA DENGAN TUGAS KEPOLISIAN

PAHAM NEO KLASIK

1.Detterence theory

 Dikembangkan oleh Cesare Beccaria dan J.Betham yang menekankan pada reformasi hokum khususnya penegakkan hokum dan penghukuman.
 Pembuat hukum seharusnya mendefinisikan kejahatan dan hukumannya secara jelas
 Seriusitas kejahatan seharusnya ditentukan oleh derita yang muncul bagi masyarakat
 Penghukuman itu tidak adil bila deritanya lebih dari cukup untuk menangkal kejahatan kembali
 Penghukuman seyogyanya cepat ,pasti, tepat
 Secara ringkas,agar efektif pemidanaan harus memenuhi 3 unsur : “celerity(kesegeraan),severity(adanya derita),certainty(kepastian).”
 Berangkat dari pemikiran teori klasik : seseorang bertindak karena penerapan prinsip free will dengan penalaran yang rasional terhadap resiko jika berbuat jahat dan hasil yang dicapai .Hal ini dilakukan berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya.
 Aliran ini tidak menekankan pada aspek pencegahan kejahatan tetapi pada aspek penghukumannya(perumusan ancaman pidana sampai pada pelaksanaan penghukuman.
 Asumsinya dengan menimbulkan efek jera dapat mencegah orang berbuat jahat.

Kaitannya dengan Kepolisian adalah :

- Implikasi dari penerapan teori ini pada kebijakan sistem peradilan pidana adalah tuntutan peningkatan ancaman,pemberatan pidana,penambahan jumlah polisi.
Semakin banyak polisi,semakin banyak orang yang ditangkap dan semakin terjamin ketanggap segeraan tindakan kepolisian dan kepastian hukum.Akibatnya semakin berkurang orang yang melakukan kejahatan.
Hal ini sangat membantu tugas polisi dalam mencegah kejahatan dan hasil yang dicapai juga lebih maksimal(karena jumlah polisi banyak dan sistem hukum yang mendukung).
Walaupun penelitian menunjukkan bahwa hukuman yang berat tidak mengurangi kejahatan baik kualitas maupun kuantitasnya,tetapi kebijakan yang berbasis teori ini memberikan manfaat kepada polisi yaitu menambah jumlah polisi dalam rangka perkuatan perangkat sistem peradilan pidana.

- Peranan polisi sangat berarti dalam mencegah kejahatan,yaitu polisi yang mewujudkan celerity,severity,certainty.Tindakan kepolisian menimbulkan efek jera tanpa mempersoalkan apakah pelaku akan diproses untuk punishment yang substansial atau hanya dengan punishment procedural saja.


2.Routine Activities Theory

 Teori ini dikembangkan oleh Lawrence Cohen dan Marcus Felson
 Kejahatan pada suatu objek dan saat tertentu akan terjadi,tergantung 3 variabel :
- Suitable targets: target yang sesuai,biasanya yang rentan.
- Capable guardians: pilihan dipastikan apabila tidak ada pengamanan yang memadai.
- Motivated criminals: kejahatan akan lebih ditentukan oleh pelaku-pelaku yang memang memiliki motif
Jika ketiganya bertemu bersamaan,maka terjadilah kejahatan.
 Aliran ini tidak menekankan pada aspek penghukuman (perumusan ancaman pidana sampai pada pelaksanaan penghukuman) tetapi pada “pencegahan kejahatan “=>berbeda dengan teori deteren

Kaitannya dengan Kepolisian adalah :

- Karena jika ketiga variable diatas bertemu dalam satu waktu dan satu tempat,maka terjadilah kejahatan, maka yang bisa dilakukan polisi adalah menghilangkan salah satu variable agar tidak terjadi kejahatan,yaitu melaksanakan capable guardian.Kegiatannya yang bisa dilakukan polisi meliputi penjagaan, pengawalan dan patroli.
Kegiatan patroli yang dilaksanakan polisi, sudah bisa memberikan efek yaitu menghilangkan niat calon pelaku untuk berbuat kejahatan,karena tidak mau mengambil resiko tertangkap oleh polisi.

- Routine Activities Theory ini berkaitan dengan teori korban(theory of victimization),teori pilihan rasional(rational chice theory),teori deteren (Detterence theory).Kesemuanya menyebutkan bahwa kehadiran polisi sangat dibutuhkan dalam mencegah terjadinnya kejahatan

DISKRIMINASI TERHADAP EKS-TAPOL G 30 S/PKI BESERTA KETURUNANNYA DI INDONESIA

DISKRIMINASI TERHADAP EKS-TAPOL G 30 S/PKI
BESERTA KETURUNANNYA DI INDONESIA

TAHANAN POLITIK
Istilah tapol(tahanan politik) itu sendiri sebenarnya sudah merupakan diskriminasi. Karena dalam negara yang menjunjung tinggi demokrasi, seseorang tidak boleh ditahan karena pandangan politiknya (yang berbeda atau bertentangan dengan pandangan politik pemerintahan pada waktu tertentu). Oleh karena itu, istilah "Keturunan Tapol" pun menjadi tidak relevan lagi.
Tidak semua Tapol (kalaupun istilah ini dipergunakan) belum tentu memiliki pandangan politik sama dengan PKI (yang pada saat itu diharamkan oleh pemerintah Indonesia). Beberapa kisah nyata menunjukkan, sebagian dari mereka tidak tahu menahu tentang politik, dan hanya berada pada saat dan tempat yang salah. Oleh karena itu, istilah "Keturunan Tapol" menjadi bentuk diskriminasi yang paling ekstrem bagi mereka yang orangtua/leluhurnya termasuk dalam kategori "Tapol" kebetulan ini.
Keturunan eks tapol G 30 S/PKI mendapatkan perlakuan yang sangat diskriminatif, bahkan sangat mendera kelangsunagn hidupnya. Pekerjaan sangat susah mereka dapatkan, karena semua persyaratan untuk mengisi pekerjaan selalu mensyaratkan surat keterangan bersih diri(orang tua,saudara bebas dari G30 S/PKI). Walaupun dalam pemerintahan Gusdur sudah dicabut dengan Ketetapan MPRS, tetapi tetap ada perlakuan yang diskriminatif yang mereka terima.
Setiap individu bertanggungjawab terhadap lingkungan dan masyarakatnya dalam wujud kerja dan perilakunya. Oleh karena itu, individu tidak bisa dimintai pertanggungan jawab terhadap apapun yang dilakukan oleh orang lain (orangtua/leluhurnya). Perbedaan politik orangtua dengan pemerintah pada saat itu tidak bisa dijadikan pembenaran hukuman sosial terhadap keturunannya. Karena mereka adalah individu yang terpisah.
Apabila pemerintah dan negara dengan lapang hati mau meminta maaf kepada para "tapol" dan keturunannya atas segala bentuk ketidakadilan di masa lampau, ini merupakan bentuk rekonsiliasi yang dapat menjadi sarana perdamaian bangsa. Sehingga keturunan tapol pun bisa dengan lapang hati memaafkan perlakuan yang telah mereka atau orang tuanya alami di masa lampau. Bentuk rekonsiliasi seperti yang dilakukan Timor Leste terhadap bangsa Indonesia patut dicontoh.
Dengan bentuk masyarakat Indonesia yang belum bisa menelaah persoalan secara rasional, peran pemerintah sebagai patron (panutan) sangat penting. Bagaimana negara melalui pemerintahnya memperlakukan para tapol dan keturunannya ini, akan dijadikan contoh oleh rakyat indonesia.
Terminologi tahanan Politik, atau dalam bahasa Inggris disebut “political prisoner”, oleh Amnesty Internasional digolongkan ke dalam “prisoner of conscience”, orang-orang yang dipenjara karena ras, kepercayaan, warna kulit, bahasa, orientasi sosial, agama, dan gaya hidupnya, yang tidak menggunakan atau mendukung kekerasan. David Riesman (Sosiolog dari Harvard) mengemukakan terminology tersebut lebih merupakan definisi sosiologis, bukan definisi legal (yang akan menghukum seseorang karena tindakan criminal yang dilakukannya). Hanya seseorang yang berbeda pandangan politiknya, yang menggunakan atau mendukung kekerasan untuk membela pandangan politiknya yang bisa dihukum oleh negara (contoh: teroris). Oleh karena itu, masalah eks-tahanan politik ini sebaiknya juga diselesaikan dalam kerangka sosiologis, selain dalam kerangka hukum (misalnya pengembalian hak-hak politiknya dalam memilih dan dipilih dalam pemilu) .

KONFLIK REVOLUSIONER
Konflik dalam sosiologi: setiap masyarakat selalu bergerak dalam proses kohesi sosial (social cohesion). Tidak ada masyarakat yang terus menerus berada dalam kohesi sosial (permanen tanpa konflik. Kohesi sosial tercapai apabila mayoritas anggota masyrakatnya merasa sebagai stakeholder. Kohesi sosial yang lemah terjadi jika banyak anggota masyarakat merasa terasing atau tidak memiliki (stakeless).
Peristiwa 1965: Peristiwa 30 September 1965 merupakan salah satu proses konflik revolusioner dalam sosiologi, karena merupakan pertentangan yang menghasilkan pergantian pemerintahan suatu negara (Soekanto, 1978). Oleh karena itu, dibutuhkan waktu yang lama untuk membawa kembali bangsa Indonesia kepada suatu kohesi sosial. Salah satu cara yang dipakai adalah bentuk rekonsiliasi antara pihak-pihak yang berkonflik. Namun harus diingat, memaafkan tidak selalu harus berarti melupakan.

REKONSILIASI
Hal ini berlaku bagi para eks-tapol dan keluarganya di satu pihak maupun mereka yang mereka yang merasa menjadi korban dalam peristiwa tersebut. Dalam hal konflik seperti ini, kedua belah pihak harus diperlakukan sama: sama-sama korban. Kemauan setiap pihak (yang sama-sama merasa menjadi korban) untuk menjadi bagian dari bangsa (merasa memiliki, sebagai stakeholder) akan membuat kohesi sosial bertambah kuat. Kemauan ini diwujudkan dalam bentuk saling memaafkan, dan tidak menafikan dan melupakan (jumlah orang, besarnya, cara memperlakukan, dst) penderitaan yang telah mereka alami di masa lalu, sebagai pelajaran terhadap generasi mendatang, manusia bisa berbuat salah, yang membuat kerusakan pada masyarakatnya. Namun yang membedakan mereka dengan binatang adalah: manusia berani mengakui kesalahannya, penderitaannya, meminta maaf, memperbaiki dan melanjutkan hidupnya.

DAFTAR PUSTAKA
Soekanto,Soeryono. Sosiologi, Suatu Pengantar. Cetakan VI. Jakarta: Yayasan Penerbit UI 1978.
Kamanto. Pengantar Sosiologi. Edisi Revisi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2004.
Duverger, Maurice diterjemahkan oleh Daniel Dhakidae. Sosiologi Politik. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2003.
Tabah, Anton. Bicara Tentang G 30S/PKI, Cetakan Kedua. Klaten: CV Sahabat, 2007.
Hand out Dr Iwan Gardono untuk mata kuliah Sosiologi PTIK angkatan 51 tahun 2008.
Hasil diskusi dan bertukar pendapat dengan teman-teman penulis melalui email rimsyahtono@polri.go.id.

STRATEGI MENCIPTAKAN IMAGE DIRI SEBAGAI PEMIMPIN MUDA

STRATEGI MENCIPTAKAN IMAGE DIRI SEBAGAI PEMIMPIN MUDA

Image yang baik tentang sosok seseorang akan memberikan dampak yang positif, sehingga sangat mendukung kelancaran proses komunikasi, karena citra diri tersebut di tengah masyarakat atau khalayak sudah baik. Demikian juga sebaliknya, bila image yang muncul terhadap seseorang jelek,akan mempengaruhi orang itu dalam berkomunikasi sehingga diperlukan upaya yang legih besar dalam proses komunikasi untuk memperbaiki image tersebut.Dengan berkomunikasi yang baik,maka proses penyampaian pesan akan semakin baik sehingga meningkatkan kualitas pencapaian tujuan dalam hidup ini.

Untuk mendapatkan image diri yang baik, perlu ditempuh strategi penciptaan image diri sehingga diharapkan nantinya bisa mendukung kelancaran proses komunikasi, karena citra diri yang baik meningkatkan accesibilitas seseorang di tengah-tengah masyarakat. Begitu juga sebaliknya, bila image yang muncul terhadap seseorang kurang bagus ,tentunya akan mempengaruhi orang tersebut dalam berkomunikasi dan pada akhirnya akan mengganggu dalam beraktifitas untuk mencapai tujuannya.Dengan berkomunikasi yang baik,maka proses penyampaian pesan akan semakin baik sehingga meningkatkan kualitas pencapaian tujuan dalam hidup ini.

Penulis mempunyai cita-cita sebagai seorang pemimpin kelak . Sehingga saat ini penulis berusaha menciptakan image diri dan pencitraan sebagai orang muda yang memiliki jiwa kepemimpinan tinggi . Penulis ingin agar image itu menempel pada penulis , sehingga jika orang lain melihat penulis,maka yang terlintas dan melekat di pemikiran orang-orang tersebut adalah bahwa penulis itu seorang pemimpin , yang bisa memimpin orang – orang disekitarnya .

ANALISIS SOSTAC

Disini penulis mencoba menguraikan penerapan SOSTAC dalam penciptaan image diri penulis yang ingin melabel dirinya sebagai seseorang muda yang memiliki jiwa kepemimpinan tinggi.Penyusunan taktik , strategi dan pesan itu sendiri harus berjalan baik sesuai dengan rancangan dalam SOSTAC, yaitu:

S : SITUATION
O : OBJECTIVES
S : STRATEGY
T : TACTICS
A : ACTION
C : CONTROL

Untuk lebih jelasnya,dibawah ini penulis akan digambarkan satu-persatu :

SITUATION

Saat ini penulis sedang menjalani pendidikan di PTIK dan situasi di dalam PTIK berbeda dengan situasi ditempat lain karena memiliki karakteristik tertentu.Lingkungan di PTIK relatif homogen karena terdiri dari sebagian besar anggota Polisi,baik itu mahasiswa ataupun staf dosen PTIK dan sebagian kecil dari non anggota polisi.Suasana yang terasa di PTIK ini adalah suasana pendidikan,terasa sekali semangat menuntut ilmu,sehingga bisa dikatakan situasi kondisinya logis ilmiah. Sehingga untuk menjadi perhatian , keluasan cakrawala pengetahuan menjadi hal yang penting .

OBJECTIVES

Dengan melihat situasi yang terasa sekali nuansa akademisnya,tentunya penulis terpengaruh untuk turut serta dalam kegiatan menambah ilmu,dan ingin menjadi orang yang pintar,berpikiran logis,kritis ,analitis dan berwawasan luas.Penulis ingin menanamkan image diri sebagai orang pemimin muda yang intelek,mapu membawa teman – temannya ke tempat tertentu .Sehingga jika orang lain melihat penulis,mereka menganggap penulis sebagai calon pemimpin Polri kelak . Diharapakan oleh penulis,dengan image penulis yang demikian melekat dalam ingatan orang-orang , sehingga kelak,jika sudah pada waktunya nanti, hal ini akan membantu dalam karir penulis,karena penulis dianggap sebagai orang yang memiliki jiwa kepemimpinan tinggi , bisa memimpin orang-orang disekitarnya.Hal ini membuat penulis akan di perhitungkan dalam bursa kepemimpinan Polri kelak.

STRATEGY

Pull strategy

Penulis berusaha menarik perhatian dan simpati rekan-rekan mahasiswa.Caranya dengan aktif dalam kegiatan perkuliahan,aktif bertanya,berdiskusi dengan dosen,aktif berorganisasi dan ikut dalam berbagai kepanitiaan.

Push strategy

Penulis akan aktif bergaul,berkomunikasi dan berdiskusi dengan semua lapisan mahasiswa tanpa mengenal suku,daerah pengiriman ataupun kesenioran dengan berkomunikasi yang baik,yang menampilkan penulis mempunyai jiwa kepemimpinan , rela berkorban demi kepentingan bersama .

TACTICS

Taktik yang penulis gunakan adalah berpikir luas,mengadakan hubungan dengan sumber luar agar jaringan dan dukungan luas.Taktik yang lain adalah selalu menjadi nomor satu dari bidang akademik ,nilai kepribadian (karena aktif berorganisasi ).

ACTION

Action yang dilaksanakan penulis adalah belajar sungguh-sungguh,membaca banyak buku untuk menambah ilmu , aktif berorganisasi ,mau capek bekerja keras demi kepentingan bersama.

CONTROL

Mengontrol semua strategi yang sudah kita jalankan ,dengan mengecek penerimaan image penulis yang ada di rekan-rekan penulis , dengan mengambil sampel acak bertanya tentang tanggapan nya dan teknik lainnya untuk menggali kesan mereka tentang penulis .

KESIMPULAN

Dalam analisis SOSTAC tedapat kelemahan yang diantaranya analisis strategi dan taktik tidak komperhensif sehingga analisis controlnya tidak terfokus.Kelebihannya adalah memberikan panduan penulis dalam menganalisis secara detail sarana komunikasi penciptaan image diri.Walaupun masih terdapat beberapa kelemahan tetapi setidaknya dapat memberikan panduan melangkah dalam tindakan yang lebih strategic,sehingga penulis yakin akan mencapai hasil yang lebih baik.

Bukan hal yang mustahil,dengan pencapaian personal branding ini menuntun pada pencapaian cita-cita yang lebih tinggi.Dalam jangka pendek ini,penulis berhasil melabel dirinya sebagai pemimpin muda.Kedepannya dalam jenjang berikutnya penulis menjadi orang yang sangat diperhitungkan dalam kepemimpinan.Jika image ini bertahan terus sampai nanti,penulis yakin akan menempatkan posisi penulis pada kedudukan yang penting dalam berbagai bidang terutama di dalam organisasi Polri untuk memimpin organisasi Polri.



BAHAN BACAAN

- Ilham Prisgunanto M,Si Komunikasi Pemasaran, Ghalia Indonesia jakarta september 2006
- Hermawan Kertajaya Marketing Yourself : kiat sukses meniti karir dan bisnis Jakarta mark plus & co 2004
- www.Anangblogspot.com,diakses tanggal 8 Juli 2008