Kamis, 04 September 2008

PAHAM NEO KLASIK DAN KAITANNYA DENGAN TUGAS KEPOLISIAN

PAHAM NEO KLASIK

1.Detterence theory

 Dikembangkan oleh Cesare Beccaria dan J.Betham yang menekankan pada reformasi hokum khususnya penegakkan hokum dan penghukuman.
 Pembuat hukum seharusnya mendefinisikan kejahatan dan hukumannya secara jelas
 Seriusitas kejahatan seharusnya ditentukan oleh derita yang muncul bagi masyarakat
 Penghukuman itu tidak adil bila deritanya lebih dari cukup untuk menangkal kejahatan kembali
 Penghukuman seyogyanya cepat ,pasti, tepat
 Secara ringkas,agar efektif pemidanaan harus memenuhi 3 unsur : “celerity(kesegeraan),severity(adanya derita),certainty(kepastian).”
 Berangkat dari pemikiran teori klasik : seseorang bertindak karena penerapan prinsip free will dengan penalaran yang rasional terhadap resiko jika berbuat jahat dan hasil yang dicapai .Hal ini dilakukan berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya.
 Aliran ini tidak menekankan pada aspek pencegahan kejahatan tetapi pada aspek penghukumannya(perumusan ancaman pidana sampai pada pelaksanaan penghukuman.
 Asumsinya dengan menimbulkan efek jera dapat mencegah orang berbuat jahat.

Kaitannya dengan Kepolisian adalah :

- Implikasi dari penerapan teori ini pada kebijakan sistem peradilan pidana adalah tuntutan peningkatan ancaman,pemberatan pidana,penambahan jumlah polisi.
Semakin banyak polisi,semakin banyak orang yang ditangkap dan semakin terjamin ketanggap segeraan tindakan kepolisian dan kepastian hukum.Akibatnya semakin berkurang orang yang melakukan kejahatan.
Hal ini sangat membantu tugas polisi dalam mencegah kejahatan dan hasil yang dicapai juga lebih maksimal(karena jumlah polisi banyak dan sistem hukum yang mendukung).
Walaupun penelitian menunjukkan bahwa hukuman yang berat tidak mengurangi kejahatan baik kualitas maupun kuantitasnya,tetapi kebijakan yang berbasis teori ini memberikan manfaat kepada polisi yaitu menambah jumlah polisi dalam rangka perkuatan perangkat sistem peradilan pidana.

- Peranan polisi sangat berarti dalam mencegah kejahatan,yaitu polisi yang mewujudkan celerity,severity,certainty.Tindakan kepolisian menimbulkan efek jera tanpa mempersoalkan apakah pelaku akan diproses untuk punishment yang substansial atau hanya dengan punishment procedural saja.


2.Routine Activities Theory

 Teori ini dikembangkan oleh Lawrence Cohen dan Marcus Felson
 Kejahatan pada suatu objek dan saat tertentu akan terjadi,tergantung 3 variabel :
- Suitable targets: target yang sesuai,biasanya yang rentan.
- Capable guardians: pilihan dipastikan apabila tidak ada pengamanan yang memadai.
- Motivated criminals: kejahatan akan lebih ditentukan oleh pelaku-pelaku yang memang memiliki motif
Jika ketiganya bertemu bersamaan,maka terjadilah kejahatan.
 Aliran ini tidak menekankan pada aspek penghukuman (perumusan ancaman pidana sampai pada pelaksanaan penghukuman) tetapi pada “pencegahan kejahatan “=>berbeda dengan teori deteren

Kaitannya dengan Kepolisian adalah :

- Karena jika ketiga variable diatas bertemu dalam satu waktu dan satu tempat,maka terjadilah kejahatan, maka yang bisa dilakukan polisi adalah menghilangkan salah satu variable agar tidak terjadi kejahatan,yaitu melaksanakan capable guardian.Kegiatannya yang bisa dilakukan polisi meliputi penjagaan, pengawalan dan patroli.
Kegiatan patroli yang dilaksanakan polisi, sudah bisa memberikan efek yaitu menghilangkan niat calon pelaku untuk berbuat kejahatan,karena tidak mau mengambil resiko tertangkap oleh polisi.

- Routine Activities Theory ini berkaitan dengan teori korban(theory of victimization),teori pilihan rasional(rational chice theory),teori deteren (Detterence theory).Kesemuanya menyebutkan bahwa kehadiran polisi sangat dibutuhkan dalam mencegah terjadinnya kejahatan

DISKRIMINASI TERHADAP EKS-TAPOL G 30 S/PKI BESERTA KETURUNANNYA DI INDONESIA

DISKRIMINASI TERHADAP EKS-TAPOL G 30 S/PKI
BESERTA KETURUNANNYA DI INDONESIA

TAHANAN POLITIK
Istilah tapol(tahanan politik) itu sendiri sebenarnya sudah merupakan diskriminasi. Karena dalam negara yang menjunjung tinggi demokrasi, seseorang tidak boleh ditahan karena pandangan politiknya (yang berbeda atau bertentangan dengan pandangan politik pemerintahan pada waktu tertentu). Oleh karena itu, istilah "Keturunan Tapol" pun menjadi tidak relevan lagi.
Tidak semua Tapol (kalaupun istilah ini dipergunakan) belum tentu memiliki pandangan politik sama dengan PKI (yang pada saat itu diharamkan oleh pemerintah Indonesia). Beberapa kisah nyata menunjukkan, sebagian dari mereka tidak tahu menahu tentang politik, dan hanya berada pada saat dan tempat yang salah. Oleh karena itu, istilah "Keturunan Tapol" menjadi bentuk diskriminasi yang paling ekstrem bagi mereka yang orangtua/leluhurnya termasuk dalam kategori "Tapol" kebetulan ini.
Keturunan eks tapol G 30 S/PKI mendapatkan perlakuan yang sangat diskriminatif, bahkan sangat mendera kelangsunagn hidupnya. Pekerjaan sangat susah mereka dapatkan, karena semua persyaratan untuk mengisi pekerjaan selalu mensyaratkan surat keterangan bersih diri(orang tua,saudara bebas dari G30 S/PKI). Walaupun dalam pemerintahan Gusdur sudah dicabut dengan Ketetapan MPRS, tetapi tetap ada perlakuan yang diskriminatif yang mereka terima.
Setiap individu bertanggungjawab terhadap lingkungan dan masyarakatnya dalam wujud kerja dan perilakunya. Oleh karena itu, individu tidak bisa dimintai pertanggungan jawab terhadap apapun yang dilakukan oleh orang lain (orangtua/leluhurnya). Perbedaan politik orangtua dengan pemerintah pada saat itu tidak bisa dijadikan pembenaran hukuman sosial terhadap keturunannya. Karena mereka adalah individu yang terpisah.
Apabila pemerintah dan negara dengan lapang hati mau meminta maaf kepada para "tapol" dan keturunannya atas segala bentuk ketidakadilan di masa lampau, ini merupakan bentuk rekonsiliasi yang dapat menjadi sarana perdamaian bangsa. Sehingga keturunan tapol pun bisa dengan lapang hati memaafkan perlakuan yang telah mereka atau orang tuanya alami di masa lampau. Bentuk rekonsiliasi seperti yang dilakukan Timor Leste terhadap bangsa Indonesia patut dicontoh.
Dengan bentuk masyarakat Indonesia yang belum bisa menelaah persoalan secara rasional, peran pemerintah sebagai patron (panutan) sangat penting. Bagaimana negara melalui pemerintahnya memperlakukan para tapol dan keturunannya ini, akan dijadikan contoh oleh rakyat indonesia.
Terminologi tahanan Politik, atau dalam bahasa Inggris disebut “political prisoner”, oleh Amnesty Internasional digolongkan ke dalam “prisoner of conscience”, orang-orang yang dipenjara karena ras, kepercayaan, warna kulit, bahasa, orientasi sosial, agama, dan gaya hidupnya, yang tidak menggunakan atau mendukung kekerasan. David Riesman (Sosiolog dari Harvard) mengemukakan terminology tersebut lebih merupakan definisi sosiologis, bukan definisi legal (yang akan menghukum seseorang karena tindakan criminal yang dilakukannya). Hanya seseorang yang berbeda pandangan politiknya, yang menggunakan atau mendukung kekerasan untuk membela pandangan politiknya yang bisa dihukum oleh negara (contoh: teroris). Oleh karena itu, masalah eks-tahanan politik ini sebaiknya juga diselesaikan dalam kerangka sosiologis, selain dalam kerangka hukum (misalnya pengembalian hak-hak politiknya dalam memilih dan dipilih dalam pemilu) .

KONFLIK REVOLUSIONER
Konflik dalam sosiologi: setiap masyarakat selalu bergerak dalam proses kohesi sosial (social cohesion). Tidak ada masyarakat yang terus menerus berada dalam kohesi sosial (permanen tanpa konflik. Kohesi sosial tercapai apabila mayoritas anggota masyrakatnya merasa sebagai stakeholder. Kohesi sosial yang lemah terjadi jika banyak anggota masyarakat merasa terasing atau tidak memiliki (stakeless).
Peristiwa 1965: Peristiwa 30 September 1965 merupakan salah satu proses konflik revolusioner dalam sosiologi, karena merupakan pertentangan yang menghasilkan pergantian pemerintahan suatu negara (Soekanto, 1978). Oleh karena itu, dibutuhkan waktu yang lama untuk membawa kembali bangsa Indonesia kepada suatu kohesi sosial. Salah satu cara yang dipakai adalah bentuk rekonsiliasi antara pihak-pihak yang berkonflik. Namun harus diingat, memaafkan tidak selalu harus berarti melupakan.

REKONSILIASI
Hal ini berlaku bagi para eks-tapol dan keluarganya di satu pihak maupun mereka yang mereka yang merasa menjadi korban dalam peristiwa tersebut. Dalam hal konflik seperti ini, kedua belah pihak harus diperlakukan sama: sama-sama korban. Kemauan setiap pihak (yang sama-sama merasa menjadi korban) untuk menjadi bagian dari bangsa (merasa memiliki, sebagai stakeholder) akan membuat kohesi sosial bertambah kuat. Kemauan ini diwujudkan dalam bentuk saling memaafkan, dan tidak menafikan dan melupakan (jumlah orang, besarnya, cara memperlakukan, dst) penderitaan yang telah mereka alami di masa lalu, sebagai pelajaran terhadap generasi mendatang, manusia bisa berbuat salah, yang membuat kerusakan pada masyarakatnya. Namun yang membedakan mereka dengan binatang adalah: manusia berani mengakui kesalahannya, penderitaannya, meminta maaf, memperbaiki dan melanjutkan hidupnya.

DAFTAR PUSTAKA
Soekanto,Soeryono. Sosiologi, Suatu Pengantar. Cetakan VI. Jakarta: Yayasan Penerbit UI 1978.
Kamanto. Pengantar Sosiologi. Edisi Revisi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2004.
Duverger, Maurice diterjemahkan oleh Daniel Dhakidae. Sosiologi Politik. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2003.
Tabah, Anton. Bicara Tentang G 30S/PKI, Cetakan Kedua. Klaten: CV Sahabat, 2007.
Hand out Dr Iwan Gardono untuk mata kuliah Sosiologi PTIK angkatan 51 tahun 2008.
Hasil diskusi dan bertukar pendapat dengan teman-teman penulis melalui email rimsyahtono@polri.go.id.

STRATEGI MENCIPTAKAN IMAGE DIRI SEBAGAI PEMIMPIN MUDA

STRATEGI MENCIPTAKAN IMAGE DIRI SEBAGAI PEMIMPIN MUDA

Image yang baik tentang sosok seseorang akan memberikan dampak yang positif, sehingga sangat mendukung kelancaran proses komunikasi, karena citra diri tersebut di tengah masyarakat atau khalayak sudah baik. Demikian juga sebaliknya, bila image yang muncul terhadap seseorang jelek,akan mempengaruhi orang itu dalam berkomunikasi sehingga diperlukan upaya yang legih besar dalam proses komunikasi untuk memperbaiki image tersebut.Dengan berkomunikasi yang baik,maka proses penyampaian pesan akan semakin baik sehingga meningkatkan kualitas pencapaian tujuan dalam hidup ini.

Untuk mendapatkan image diri yang baik, perlu ditempuh strategi penciptaan image diri sehingga diharapkan nantinya bisa mendukung kelancaran proses komunikasi, karena citra diri yang baik meningkatkan accesibilitas seseorang di tengah-tengah masyarakat. Begitu juga sebaliknya, bila image yang muncul terhadap seseorang kurang bagus ,tentunya akan mempengaruhi orang tersebut dalam berkomunikasi dan pada akhirnya akan mengganggu dalam beraktifitas untuk mencapai tujuannya.Dengan berkomunikasi yang baik,maka proses penyampaian pesan akan semakin baik sehingga meningkatkan kualitas pencapaian tujuan dalam hidup ini.

Penulis mempunyai cita-cita sebagai seorang pemimpin kelak . Sehingga saat ini penulis berusaha menciptakan image diri dan pencitraan sebagai orang muda yang memiliki jiwa kepemimpinan tinggi . Penulis ingin agar image itu menempel pada penulis , sehingga jika orang lain melihat penulis,maka yang terlintas dan melekat di pemikiran orang-orang tersebut adalah bahwa penulis itu seorang pemimpin , yang bisa memimpin orang – orang disekitarnya .

ANALISIS SOSTAC

Disini penulis mencoba menguraikan penerapan SOSTAC dalam penciptaan image diri penulis yang ingin melabel dirinya sebagai seseorang muda yang memiliki jiwa kepemimpinan tinggi.Penyusunan taktik , strategi dan pesan itu sendiri harus berjalan baik sesuai dengan rancangan dalam SOSTAC, yaitu:

S : SITUATION
O : OBJECTIVES
S : STRATEGY
T : TACTICS
A : ACTION
C : CONTROL

Untuk lebih jelasnya,dibawah ini penulis akan digambarkan satu-persatu :

SITUATION

Saat ini penulis sedang menjalani pendidikan di PTIK dan situasi di dalam PTIK berbeda dengan situasi ditempat lain karena memiliki karakteristik tertentu.Lingkungan di PTIK relatif homogen karena terdiri dari sebagian besar anggota Polisi,baik itu mahasiswa ataupun staf dosen PTIK dan sebagian kecil dari non anggota polisi.Suasana yang terasa di PTIK ini adalah suasana pendidikan,terasa sekali semangat menuntut ilmu,sehingga bisa dikatakan situasi kondisinya logis ilmiah. Sehingga untuk menjadi perhatian , keluasan cakrawala pengetahuan menjadi hal yang penting .

OBJECTIVES

Dengan melihat situasi yang terasa sekali nuansa akademisnya,tentunya penulis terpengaruh untuk turut serta dalam kegiatan menambah ilmu,dan ingin menjadi orang yang pintar,berpikiran logis,kritis ,analitis dan berwawasan luas.Penulis ingin menanamkan image diri sebagai orang pemimin muda yang intelek,mapu membawa teman – temannya ke tempat tertentu .Sehingga jika orang lain melihat penulis,mereka menganggap penulis sebagai calon pemimpin Polri kelak . Diharapakan oleh penulis,dengan image penulis yang demikian melekat dalam ingatan orang-orang , sehingga kelak,jika sudah pada waktunya nanti, hal ini akan membantu dalam karir penulis,karena penulis dianggap sebagai orang yang memiliki jiwa kepemimpinan tinggi , bisa memimpin orang-orang disekitarnya.Hal ini membuat penulis akan di perhitungkan dalam bursa kepemimpinan Polri kelak.

STRATEGY

Pull strategy

Penulis berusaha menarik perhatian dan simpati rekan-rekan mahasiswa.Caranya dengan aktif dalam kegiatan perkuliahan,aktif bertanya,berdiskusi dengan dosen,aktif berorganisasi dan ikut dalam berbagai kepanitiaan.

Push strategy

Penulis akan aktif bergaul,berkomunikasi dan berdiskusi dengan semua lapisan mahasiswa tanpa mengenal suku,daerah pengiriman ataupun kesenioran dengan berkomunikasi yang baik,yang menampilkan penulis mempunyai jiwa kepemimpinan , rela berkorban demi kepentingan bersama .

TACTICS

Taktik yang penulis gunakan adalah berpikir luas,mengadakan hubungan dengan sumber luar agar jaringan dan dukungan luas.Taktik yang lain adalah selalu menjadi nomor satu dari bidang akademik ,nilai kepribadian (karena aktif berorganisasi ).

ACTION

Action yang dilaksanakan penulis adalah belajar sungguh-sungguh,membaca banyak buku untuk menambah ilmu , aktif berorganisasi ,mau capek bekerja keras demi kepentingan bersama.

CONTROL

Mengontrol semua strategi yang sudah kita jalankan ,dengan mengecek penerimaan image penulis yang ada di rekan-rekan penulis , dengan mengambil sampel acak bertanya tentang tanggapan nya dan teknik lainnya untuk menggali kesan mereka tentang penulis .

KESIMPULAN

Dalam analisis SOSTAC tedapat kelemahan yang diantaranya analisis strategi dan taktik tidak komperhensif sehingga analisis controlnya tidak terfokus.Kelebihannya adalah memberikan panduan penulis dalam menganalisis secara detail sarana komunikasi penciptaan image diri.Walaupun masih terdapat beberapa kelemahan tetapi setidaknya dapat memberikan panduan melangkah dalam tindakan yang lebih strategic,sehingga penulis yakin akan mencapai hasil yang lebih baik.

Bukan hal yang mustahil,dengan pencapaian personal branding ini menuntun pada pencapaian cita-cita yang lebih tinggi.Dalam jangka pendek ini,penulis berhasil melabel dirinya sebagai pemimpin muda.Kedepannya dalam jenjang berikutnya penulis menjadi orang yang sangat diperhitungkan dalam kepemimpinan.Jika image ini bertahan terus sampai nanti,penulis yakin akan menempatkan posisi penulis pada kedudukan yang penting dalam berbagai bidang terutama di dalam organisasi Polri untuk memimpin organisasi Polri.



BAHAN BACAAN

- Ilham Prisgunanto M,Si Komunikasi Pemasaran, Ghalia Indonesia jakarta september 2006
- Hermawan Kertajaya Marketing Yourself : kiat sukses meniti karir dan bisnis Jakarta mark plus & co 2004
- www.Anangblogspot.com,diakses tanggal 8 Juli 2008