Kamis, 04 September 2008

DISKRIMINASI TERHADAP EKS-TAPOL G 30 S/PKI BESERTA KETURUNANNYA DI INDONESIA

DISKRIMINASI TERHADAP EKS-TAPOL G 30 S/PKI
BESERTA KETURUNANNYA DI INDONESIA

TAHANAN POLITIK
Istilah tapol(tahanan politik) itu sendiri sebenarnya sudah merupakan diskriminasi. Karena dalam negara yang menjunjung tinggi demokrasi, seseorang tidak boleh ditahan karena pandangan politiknya (yang berbeda atau bertentangan dengan pandangan politik pemerintahan pada waktu tertentu). Oleh karena itu, istilah "Keturunan Tapol" pun menjadi tidak relevan lagi.
Tidak semua Tapol (kalaupun istilah ini dipergunakan) belum tentu memiliki pandangan politik sama dengan PKI (yang pada saat itu diharamkan oleh pemerintah Indonesia). Beberapa kisah nyata menunjukkan, sebagian dari mereka tidak tahu menahu tentang politik, dan hanya berada pada saat dan tempat yang salah. Oleh karena itu, istilah "Keturunan Tapol" menjadi bentuk diskriminasi yang paling ekstrem bagi mereka yang orangtua/leluhurnya termasuk dalam kategori "Tapol" kebetulan ini.
Keturunan eks tapol G 30 S/PKI mendapatkan perlakuan yang sangat diskriminatif, bahkan sangat mendera kelangsunagn hidupnya. Pekerjaan sangat susah mereka dapatkan, karena semua persyaratan untuk mengisi pekerjaan selalu mensyaratkan surat keterangan bersih diri(orang tua,saudara bebas dari G30 S/PKI). Walaupun dalam pemerintahan Gusdur sudah dicabut dengan Ketetapan MPRS, tetapi tetap ada perlakuan yang diskriminatif yang mereka terima.
Setiap individu bertanggungjawab terhadap lingkungan dan masyarakatnya dalam wujud kerja dan perilakunya. Oleh karena itu, individu tidak bisa dimintai pertanggungan jawab terhadap apapun yang dilakukan oleh orang lain (orangtua/leluhurnya). Perbedaan politik orangtua dengan pemerintah pada saat itu tidak bisa dijadikan pembenaran hukuman sosial terhadap keturunannya. Karena mereka adalah individu yang terpisah.
Apabila pemerintah dan negara dengan lapang hati mau meminta maaf kepada para "tapol" dan keturunannya atas segala bentuk ketidakadilan di masa lampau, ini merupakan bentuk rekonsiliasi yang dapat menjadi sarana perdamaian bangsa. Sehingga keturunan tapol pun bisa dengan lapang hati memaafkan perlakuan yang telah mereka atau orang tuanya alami di masa lampau. Bentuk rekonsiliasi seperti yang dilakukan Timor Leste terhadap bangsa Indonesia patut dicontoh.
Dengan bentuk masyarakat Indonesia yang belum bisa menelaah persoalan secara rasional, peran pemerintah sebagai patron (panutan) sangat penting. Bagaimana negara melalui pemerintahnya memperlakukan para tapol dan keturunannya ini, akan dijadikan contoh oleh rakyat indonesia.
Terminologi tahanan Politik, atau dalam bahasa Inggris disebut “political prisoner”, oleh Amnesty Internasional digolongkan ke dalam “prisoner of conscience”, orang-orang yang dipenjara karena ras, kepercayaan, warna kulit, bahasa, orientasi sosial, agama, dan gaya hidupnya, yang tidak menggunakan atau mendukung kekerasan. David Riesman (Sosiolog dari Harvard) mengemukakan terminology tersebut lebih merupakan definisi sosiologis, bukan definisi legal (yang akan menghukum seseorang karena tindakan criminal yang dilakukannya). Hanya seseorang yang berbeda pandangan politiknya, yang menggunakan atau mendukung kekerasan untuk membela pandangan politiknya yang bisa dihukum oleh negara (contoh: teroris). Oleh karena itu, masalah eks-tahanan politik ini sebaiknya juga diselesaikan dalam kerangka sosiologis, selain dalam kerangka hukum (misalnya pengembalian hak-hak politiknya dalam memilih dan dipilih dalam pemilu) .

KONFLIK REVOLUSIONER
Konflik dalam sosiologi: setiap masyarakat selalu bergerak dalam proses kohesi sosial (social cohesion). Tidak ada masyarakat yang terus menerus berada dalam kohesi sosial (permanen tanpa konflik. Kohesi sosial tercapai apabila mayoritas anggota masyrakatnya merasa sebagai stakeholder. Kohesi sosial yang lemah terjadi jika banyak anggota masyarakat merasa terasing atau tidak memiliki (stakeless).
Peristiwa 1965: Peristiwa 30 September 1965 merupakan salah satu proses konflik revolusioner dalam sosiologi, karena merupakan pertentangan yang menghasilkan pergantian pemerintahan suatu negara (Soekanto, 1978). Oleh karena itu, dibutuhkan waktu yang lama untuk membawa kembali bangsa Indonesia kepada suatu kohesi sosial. Salah satu cara yang dipakai adalah bentuk rekonsiliasi antara pihak-pihak yang berkonflik. Namun harus diingat, memaafkan tidak selalu harus berarti melupakan.

REKONSILIASI
Hal ini berlaku bagi para eks-tapol dan keluarganya di satu pihak maupun mereka yang mereka yang merasa menjadi korban dalam peristiwa tersebut. Dalam hal konflik seperti ini, kedua belah pihak harus diperlakukan sama: sama-sama korban. Kemauan setiap pihak (yang sama-sama merasa menjadi korban) untuk menjadi bagian dari bangsa (merasa memiliki, sebagai stakeholder) akan membuat kohesi sosial bertambah kuat. Kemauan ini diwujudkan dalam bentuk saling memaafkan, dan tidak menafikan dan melupakan (jumlah orang, besarnya, cara memperlakukan, dst) penderitaan yang telah mereka alami di masa lalu, sebagai pelajaran terhadap generasi mendatang, manusia bisa berbuat salah, yang membuat kerusakan pada masyarakatnya. Namun yang membedakan mereka dengan binatang adalah: manusia berani mengakui kesalahannya, penderitaannya, meminta maaf, memperbaiki dan melanjutkan hidupnya.

DAFTAR PUSTAKA
Soekanto,Soeryono. Sosiologi, Suatu Pengantar. Cetakan VI. Jakarta: Yayasan Penerbit UI 1978.
Kamanto. Pengantar Sosiologi. Edisi Revisi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2004.
Duverger, Maurice diterjemahkan oleh Daniel Dhakidae. Sosiologi Politik. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2003.
Tabah, Anton. Bicara Tentang G 30S/PKI, Cetakan Kedua. Klaten: CV Sahabat, 2007.
Hand out Dr Iwan Gardono untuk mata kuliah Sosiologi PTIK angkatan 51 tahun 2008.
Hasil diskusi dan bertukar pendapat dengan teman-teman penulis melalui email rimsyahtono@polri.go.id.

1 komentar:

RIMSYAH mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.